“Banjir di mana-mana” celoteh ayah Hamka melihat berita di
televisi. Hamka yang berada di sampingnya tidak menghiraukan celoteh
ayahnya. Ia tampak tak berminat dengan berita tentang kerusakan
lingkungan seperti ini. Ingin sekali Hamka mengganti channel berita yang
ditonton ayahnya dengan channel pertandingan sepak bola kesukaannya.
Bosan dengan tayangan di televisi Hamka beranjak ke kamarnya. Di atas
meja ruang tamu, ia menemukan sebuah selebaran yang ia dapatkan dari
klub panjat dindingnya kemarin pagi. Ia lalu membacanya. “Oh, acara
tanem pohon. Yahh, garing” ia membaca judul selebaran dan tampak tak
bersemangat. “Acaranya besok lagi. Udah tahu minggu waktunya istirahat.
Huuh, males” lanjutnya.
***
Udara begitu panas. Kerongkongan Hamka yang kering, merayunya untuk
segera dibasahi. Hamka menghitung uang di dompetnya. Tinggal lima puluh
ribu. “Hhhh, uangku kurang nih buat beli seliter air” gumam Hamka. Air
memang menjadi barang mahal karena langkanya. Ia memutuskan untuk pulang
dan berharap semoga saja setidaknya ada seteguk air yang tersisa di
rumah.
Di halte bus, Hamka sudah menunggu hampir satu jam. Namun, belum ada
satu pun bis yang menuju arah rumahnya lewat. “Huuhh. Mana sih busnya
ini? Lama sekali. Haus lagi. Mana uang nggak cukup buat beli air minum.
Apes” gumam Hamka tak kuat menahan dahaga yang semakin lama menjemur
liurnya. Ia memutuskan untuk pulang dengan berjalan kaki dan berharap
semoga di tengah jalan nanti ada bus yang lewat.
Setelah dua puluh menit berjalan, tak satu pun bus lewat. Saat itu ia benar-benar haus. Terakhir ia minum ketika sarapan tadi sebelum berangkat kerja. Udara siang hari yang sangat panas lama-kelamaan membuat Hamka dehidrasi. Mulutnya kering sekering daun jati di musim panas. Lidahnya kaku seperti batang bambu. Tak kuat melanjutkan langkah, ia kemudian terjatuh. Tiba-tiba tubuhnya kering dan perlahan, satu-persatu, anggota tubuhnya rapuh, lepas dari tubuhnya sedikit demi sedikit. Hamka menutup matanya dengan tubuh yang sudah terpecah belah.
Setelah dua puluh menit berjalan, tak satu pun bus lewat. Saat itu ia benar-benar haus. Terakhir ia minum ketika sarapan tadi sebelum berangkat kerja. Udara siang hari yang sangat panas lama-kelamaan membuat Hamka dehidrasi. Mulutnya kering sekering daun jati di musim panas. Lidahnya kaku seperti batang bambu. Tak kuat melanjutkan langkah, ia kemudian terjatuh. Tiba-tiba tubuhnya kering dan perlahan, satu-persatu, anggota tubuhnya rapuh, lepas dari tubuhnya sedikit demi sedikit. Hamka menutup matanya dengan tubuh yang sudah terpecah belah.
***
“Hamkaaaaaa..” teriak ibu Hamka untuk membangunkan Hamka. Ia bangun
dengan kaget. “Ternyata cuma mimpi” ucapnya dalam hati. “Ya, Bu. Hamka
sudah bangun”.
Pagi itu, Hamka melahap sarapannya dengan perasaan aneh. Mimpinya
semalam membuatnya berpikir tentang sesuatu. “Hamka, cepat habiskan
sarapanmu. Sudah siang. Sarapan kok sambil mikir. Mikirin apa sih?”
tegur ayah Hamka. “Tadi malem Hamka mimpi aneh, Yah” jawab Hamka. “Mimpi
apa?” tanya ayahnya. “Waktu Hamka udah hampir tua, air di bumi jadi
mahal soalnya susah dicari. Aneh banget. Mana mungkin air jadi langka”
cerita Hamka pendek. “Bisa saja kalau pohon di bumi ini makin lama makin
enggak ada. Apa lagi coba yang bisa nampung air selain pohon?” tanggap
ayah Hamka. “Ah, tapi dimimpiku parah banget, Yah. Masak badanku
dehidrasi cepet banget. Kering trus patah-patah. Hrrrr” Hamka bergidik.
“Hahahaha. Sudah cepat habiskan sarapanmu. Bukannya kamu ada acara
peduli lingkungan dari klub yah? Cepat berangkat!”.
Hamka segera menghabiskan nasinya. Mimpinya kemarin malam memberikan
semangat tersendiri baginya untuk kegiatan alam klubnya kali ini. “Iya,
ya. Dulu waktu aku kecil hawanya enggak sepanas sekarang karena dulu
pohon jumlahnya lumayan banyak. Sekarang, jam delapan pagi aja mulai
kerasa panasnya. Wah, musti jaga pohon-pohon itu nih. Bener, satu pohon
pun penting” gumamnya.
0 comments:
Posting Komentar